Loury da Costa : Pasal Krusial Tentang Living Law di RUU KUHP Harus Dihapus

Sorong, warta papua. Id
– Untuk mendapat masukan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka Dirjen Komunikasi dan Informasi Publik bersama Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melaksanakan Konsultasi Publik di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat.
Bertindak sebagai pembicara dalam kegiatan konsultasi publik ini yakni, Prof. Dr. Pujiyono, SH. M. Hum Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, M. Hum., CN Guru Besar Universitas Semarang, I Gede Widhiana Suarda, SH., M.Hum., Phd.
Iklan Layanan Masyarakat Bapenda Sorong Selatan Himbauan Membayar Pajak Bumi Dan Bangunan
Kegiatan dialog publik ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dibeberapa daerah untuk mendapatkan masukan dari stakeholder tentang pasal-pasal krusial yang terbagi dalam 12 issu antara lain yang mengatur tentang living law, penghinaan terhadap kepala negara, hukuman mati, penistaan agama, kekerasan seksual, dll.
Dalam presentasinya I Gede Widhiana Suarda, SH., M.Hum., Phd, menyanyampikan bahwa dalam RUU KUHP mengusung model keadilan yang korektif, rehabilitatif dan restoraktif serta mengatur tujuan dan pedoman pemidanaan yang tidak di atur dalam KUHP saat ini yang merupakan peninggalan kolonial.
Dalam RUU KUHP ini juga mengatur tentang model putusan pengampunan oleh hakim, alternatif sanksi ( penjara, pengawasan, denda dan kerja sosial), serta adanya pedoman hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi penjara bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 (lima) tahun, karena berdampak terhadap adanya over capasity bagi lembaga pemasarakatan dan rumah tahanan di mana data per Agustus 2022 jumlah penghuninya 276. 534 orang (209%) dari total kapasitas sebanyak 132. 107 orang (belum Rutan Polri) sehingga berdampak terhadap beban keuangan Negara.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) Loury da Costa, SH dalam pertemuan tersebut memberi masukan agar pasal yang mengatur tentang Living Law di RUU KUHP sebaiknya didrop/dihapus mengingat bahwa masyarakat adat di Indonesia sudah ada sebelum Negara ini merdeka dan masyarakat adat sudah mempunyai pranata hukum adat guna menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi ditingat komunal, dimana dalam sistem peradilan adat (pidana adat) juga diberikan sanksi yang sifatnya denda atau sanksi sosial bagi pelaku dan adanya rehabilitasi bagi korban, proses penyelesaian kasus mengedepankan keadilan restroaktif guna menjaga keseimbangan didalam masyarakat adat.
Selain itu, akan kontraproduktif apabila aparat penegak hukum masuk dalam proses penyelesaian pidana yang sudah diselesaikan oleh masyarakat adat, karena dalam konteks penyelesaian di wilayah Papua menurut fakta yang ada apabila terjadi tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat adat biasanya aparat penegak hukum (polisi) menyarankan proses penyelesaiannya dibawah kedalam proses penyelesaian adat, sehingga tidak membawa dampak yang luas bagi sesama masyarakat adat juga tidak membebani anggaran negara. (Jason)